Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta menggelar Seminar Nasional yang bertajuk “Mengeja Rupa Kota”. Kegiatan Seminar tersebut dilaksanakan pada hari Selasa, 2 Desember 2015 di Balai Ekspresi Rdn. Sungging Prabangkara Kampus II ISI Surakarta pukul 08.30-16.00 WIB. Dihadiri oleh Rektor ISI Surakarta beserta jajarannya dan kegiatan seminar dibuka oleh Prof.Dr. Sri Rochana W, S.Kar., M. Hum.
Gagasan kegiatan Seminar Nasional yang diselenggarakan yakni minimnya rasa publik tentang tata ruang publik kota-kota yang pada jaman sekarang kurang. Hari-hari ini kota-kota di seantero Indonesia sedang berlomba-lomba, bergiat, menata diri. Berbeda dengan model kompetisi perebutan piala Adipura pada jaman orde baru, kota-kota ini dengan “kemauannya sendiri” berupaya mempercantik diri seelok-eloknya. Sekarang bukan lagi menyoal kebersihan, kesehatan, kerapian, dan keindahan tetapi gebyar dan kegegapgempitaan. Kondisi yang sulit terwujud di jaman orde baru, kecuali di kota-kota besar tertentu, misalnya Jakarta.
Penafsiran dan pemahaman tentang keindahan kota pada jaman orde baru memang sengaja dibuat seragam; dari kota pusat pemerintahan, Jakarta, hingga kota-kota di tepi garis batas wilayah Indonesia. Kota Sala (Surakarta) yang pernah mendulang sukses menerima hingga beberapa kali penghargaan Adipura dan Adipura Kencana, tidak luput dari model penyeragaman ini. Apa yang dibuat di Jakarta ditiru daerah-daerah yang lain. Tugu yang dibuat di tengah-tengah perempatan jalan sebuah kampung bukan tidak mungkin adalah tiruan “seadanya” dari tugu Monas yang ada di pusat kota Jakarta.
Indah diidentikkan dengan keseragaman. Becak-becak di Sala, yang sebelumnya sangat meriah dengan berbagai macam gambar beraneka warna (terutama pada bagian selebor), pernah dibuat seragam pada masa pemerintahan walikota R. Hartomo (orde baru). Dihilangkan kemeriahannya dengan cat warna biru, merah atau putih (untuk becak yang beroperasi pada malam hari) pada bagianselebor dengan tulisan besar BERSERI (Bersih, Sehat, Rapi, Indah) di tengah-tengahnya. Hampir semua diseragamkan, apalagi yang berkait dengan hal ikhwal publik.
Kota adalah panggung pertarungan kepentingan yang luar biasa menjanjikan, baik itu di ranah politik praktis apalagi ekonomi. Maka tidak aneh kalau banyak yang berusaha menjadikan ruang publik kota sebagai komoditi. Demokratisasi dan kesempatan partisipasi publik dijadikan alasan untuk membenarkan kegiatan-kegiatan “kreatif” kelompok-kelompok yang berebut. Dan sayangnya, kegiatan “kreatif” pengelolaan ruang-ruang publik kota ini tidak berorientasi publik. Tanpa rasa publik. Semuanya mementingkan diri dan kelompoknya meskipun dibalut dengan peristiwa-peristiwa publik, seperti misalnya berbagai peristiwa kesenian akbar, pemunculan bangunan-bangunan dan fasilitas publik yang seakan-akan mengedepankan identitas primordial budaya masyarakat kota (tradisionalisme), baliho-baliho iklan yang menyisipkan kesan visual seni tradisional dan sebagainya.
Pemahaman kita tentang ruang publik terjebak pada ritual-ceremonial publik. Seperti keterjebakan kita memahami identitas tidak lagi pada dialektika dan akumulasi tradisi hidup sehari-hari tetapi pada bentuk upacara-upacaranya, bentuk kemasalaluannya yang beku: tradisionalisme yang naïf. Itulah rupanya sebab mengapa kota Sala, misalnya, pada ranah publik kehilangan rasa komunalnya. Kondisi ini terjadi bahkan di kampung-kampung. Pembetonan jalanan kampung tanpa memedulikan peresapan dan drainase bersama adalah salah satu buktinya. Warga kampung lebih bergairah dalam menyelenggarakan bazar, karnaval-karnaval kecil (sebagai upaya untuk mengekspresikan ‘bentuk’ identitas mereka) dan membeton daripada memikirkan sebuah lingkungan hidup yang manusiawi, yangjangkep. Kondisi ini tanpa disadari telah membawa kota tempat hidup kita semakin membusuk. Kebusukan yang disebabkan oleh wewangian yang berlebih.
Para praktisi seni (seniman, desainer, koreografer, penari, dan sebagainya), para intelektual seni, budayawan dan berbagai kalangan yang menyebut diri sebagai kalangan kreatif tidak luput dari sorotan ini. Mereka adalah bagian dari publik yang berperan banyak dalam upaya-upaya penataan ruang publik kota sekarang. Kebanyakan dari mereka berpartisipasi dalam memperelok kota dengan kekuatan bahasa dan ide-ide artistik masing-masing.
Pemerintah kota dalam perspektif demokratisasi penataan dan pengelolaan ruang publik kota tentu hanyalah satu partisipan di antara berbagai komunitas/kelompok warga. Kalau mereka telah, selain mengagendakan dan mendukung berbagai peristiwa kesenian, memikirkan penataan infrastruktur kota lalu bagaimana dengan para praktisi dan intelektual seni yang bermukim di dalamnya?
Dengan adanya latar belakang tersebut, kegiatan Seminar Nasional bertajuk “Mengeja Rupa Kota” menghadirkan narasumber dalam seminar yakni Bre Redana (Wartawan senior HU Kompas, Jakarta), Sutanto Mendut (Budayawan, Magelang), Bimo Hernowo (Peneliti Sejarah Seni, Utrecht), Samuel Indratma (Perupa, Yogyakarta), dan Tri Prasetyo Utomo (Pengajar Desain, ISI Surakarta) dengan dimoderatori Albertus Rusputranto PA, Nerfita Primadewi. Dan peserta seminar sebanyak 118 orang. (news by admin 2/12/15)

Laporan oleh Ketua Panitia, Albertus Rusputranto Ponco Anggoro, S.Sn.

Sambutan oleh Ranang Agung Sugihartono, S.Pd., M.Sn, selaku Dekan FSRD ISI Surakarta

Sambutan oleh Prof. Dr. Sri Rochana W, S.Kar., M.Hum selaku Rektor ISI Surakarta

Narasumber kegiatan Seminar Nasional bertajuk “Mengeja Rupa Kota” sesi pertama.