Forum Komunikasi Mahasiswa Jurusan Kriya (FKMJ) FSRD ISI Surakarta kembali menggelar Diskusi Fullmoon #8 di plataran terbuka Dekanat FSRD ISI Surakarta, Rabu (08/10/2025). Mengangkat tema “Kriya Atraktif: Wayang Beber”, acara ini menghadirkan seniman sekaligus dalang wayang beber, Faris Wibisono, yang datang langsung dari Pracimantoro, Wonogiri..
Dihadapan ratusan mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain, Faris mengajak berdiskusi perihal sejarh wayang beber dan perkembangannya di era sekarang. Faris yang juga alumni Jurusan Kriya ISI Surakarta, mengajak para mahasiswa seni agar tetap mempopulerkan wayang beber di era digital ini. Sebagai warisan budaya, menurutnya wayang beber memiliki keunikan visual dan lekat dengan romantisme masa lalu. Wayang beber masa lalu tercermin dalam lakon-lakon cerita seperti Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji, yang popular di masa kerajaan Jenggala dan Majapahit, serta keberadaannya sebagai sarana penyebaran nilai budaya dan ajaran pada masa itu.
Kreativitas ide-ide Faris telah menggarap visual wayang beber baru dengan narasi maupun lakon yang lebih kontekstual terhadap kondisi lingkungan dan arah zaman saat ini. Sejak tahun 2015, Faris, tidak berhenti berkreasi membuat wayang beber “Tani” di Wonogiri. Narasi pada wayang beber tani tersebut ia buat lebih dekar dengan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat desa yang merespon lingkungan untuk kebaikan alam.
Diskusi berlangsung selama 2 jam dengan berbagai pertanyaan dari audien yang merespon strategi pengembangan wayang beber dari aspek narasi cerita dan atraksinya sebagai karya kriya yan dipertunjukkan secara verbal. Wayang beber secara visual menjadi karya kriya. Alih-alih hanya berfokus pada estetika visual, namun membuatnya lebih atraktif yang dielaborasi bersama seni pertunjukan.
Dr. Aries BM, Ketua Jurusan Kriya FSRD ISI Surakarta menyoroti bagaimana seharusnya proses kreatif Kriyawan mencipta wayang beber. “Seniman kriya musti tekun dalam mengasah kreativitas, dimana pendalaman estetika dan publisitas konten visual harus beriringan. Karya Kriya atraktif yang dikomunikasikan secara verbal dapat lebih menarik perhatian audiens,” tandasnya.
Sementara Dr. Ranang Agung, salah satu Dosen FSRD yang hadir di acara diskusi berpandangan bahwa wayang beber pada revolusi teknologi saat ini, berbagai inisiatif harus dimunculkan untuk mengemasnya ke dunia digital. Mulai dari animasi, aplikasi interaktif, hingga pertunjukan live streaming. Wayang beber mulai dihadirkan dalam format yang lebih mudah diakses oleh generasi muda untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan sejarah sekaligus hiburan.
Pementasan karya wayang beber secara spektakuler dengan menggabungkan elemen-elemen teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) memungkinkan penonton merasakan pengalaman imersif seolah-olah berada di dalam dunia wayang. Selain itu, kolaborasi antara seniman dan praktisi lintas kompetensi turut memperkaya pertunjukan wayang beber. Musik Kontemporer, tata cahaya modern dan visualisasi grafis menjadi elemen tambahan yang memberikan nuansa segar dalam pementasan wayang, tanpa meninggalkan esensi tradisionalnya.
Meskipun adaptasi digital membuka banyak peluang, tantangan tetap ada. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana menjaga otentisitas dan nilai-nilai luhur wayang beber agar tidak hilang dalam proses modernisasi. Beberapa kalangan mengkhawatirkan bahwa adaptasi yang terlalu modern dapat merusak esensi wayang sebagai medium pendidikan moral dan spiritual. Oleh karena itu, penting bagi para dalang dan kreator konten untuk tetap menghormati akar budaya sambil berinovasi.
Di akhir diskusi Faris Wibisono membentangkan karya visual wayang bebernya dihadapan penonton, dia menjadi dalang sambil mengacungkan tongkat atau seligi sebagai penunjuk terhadap siapa tokoh yang sedang berbicara.
Karya Faris bercerita tentang rakyat desa yang memperbincangkan krisis air bersih dan bencana akibat deforestasi secara besar-besaran. Sambutan riuh tepuk tangan penonton, ketika Faris mengakhiri pertunjukan wayang bebernya. Para audien merasa mendapatkan ide-ide baru bagi pengembangan seni visual dan pertunjukan wayang beber. Narasi cerita yang disematkan melalui visual wayang beber, dapat membesutkan isu-isu yang kompleks seiring dengan isu-isu kekinian yang sedang terjadi.
Moderator yang bertugas dalam Fullmoon Discuss menyimpulkan bahwa karya-karya kriya seperti halnya berwujud wayang beber tidak harus statis di ruang-ruang pameran. Melainkan secara fisik, kebendaannya dapat menjadi media yang menarik untuk dipublikasikan menggunakan berbagai media dan konten kreatif.
(fsrd)